Shindu Alpito : Jemari Yang Menyibak Paras Danilla

Empat tahun lalu saya sempat bertanya pada Danilla, “Apa yang akan terjadi jika tak ada Lafa?” Pertanyaan itu saya lontarkan bukan tanpa alasan. Tahun 2015, ketika nama Danilla mulai terdengar, dalam berbagai kesempatan dia seperti tak pernah lupa menyebut kredit penting di balik karya-karyanya, Lafa Pratomo.

“Telisik” (2014), album debut Danilla, berisi lagu-lagu karya Lafa. Lafa juga bertindak sebagai penata musik dan produser pada album itu. Hal ini memunculkan persepsi awam bahwa Danilla sangat tergantung pada Lafa.

Danilla baru benar-benar menjawab pertanyaan saya itu empat tahun kemudian. Lewat album mini “Fingers.”

“Fingers” adalah ungkapan bagaimana Danilla menjadi diri sendiri secara utuh. Baik sebagai penyanyi, pencipta lagu, bahkan penata musik. Hal itu juga yang membuat album ini terdengar sangat intim.

Saya melihat diskografi Danilla sebagai sebuah perjalanan yang menarik. Pada mulanya, Danilla bukan musisi yang lahir dan besar karena mendompleng pergaulan. Pada saat album “Telisik” dirilis, orang benar-benar menyukai dia dari musiknya. Bukan karena melihat siapa – siapa yang ada di sekitarnya.

Menurut saya, pada saat membuat album “Telisik” rasa percaya diri Danilla belum seperti sekarang. Semuanya mulai berubah ketika Danilla membuat “Lintasan Waktu,” sebuah album yang menurut saya mengerahkan segala daya dan upaya yang ada dalam diri Danilla. Album “Lintasan Waktu” adalah momen “leap of faith” bagi Danilla. Tanpa “Lintasan Waktu,” menurut saya tak akan ada “Fingers.”

“Fingers” seperti muara dari apa yang terjadi dalam diri Danilla sebagai seniman, dengan apa yang sudah dia lakukan lewat dua album sebelumnya.

Mendengar “Fingers” rasanya seperti ikut menyelami pikiran-pikiran Danilla yang pekat dan terasa dekat dengan kegetiran. Di satu sisi, kita dibuat nyaman karena itu semua disampaikan secara intim dan sederhana. Danilla fokus pada instrumen yang belakangan sangat dekat dengannya, gitar elektrik. Lewat instrumen itu Danilla melakukan eksperimen nada, menghasilkan bunyi kord yang janggal, namun melenakan. Track “Index” jadi bukti kuat akan hal itu.

Entah mengapa saya merasa lagu-lagu dalam “Fingers” merupakan pengejawantahan sosok Danilla yang sebenarnya. Manifestasi diri yang se-asli-aslinya atau lebih lugasnya, bagaimana kita melihatnya dalam wujud yang “telanjang.”

Bisa dibilang, Danilla benar-benar menggarap “Fingers” sendirian. Dari penulisan lagu, aransemen, merekam track gitar, sampai mengoperasikan perangkat lunak untuk merekam. Danilla seperti tak punya beban apa-apa dalam membuat album ini. Lepas. Lima lagu yang terkadung dalam “Fingers” terdengar bebas, tanpa adanya hal-hal yang membuat kita berpikir apa yang dilakukannya pretensius dan punya tendensi.

“Fingers” adalah jemari yang menyibak veil penutup wajah Danilla, untuk melihat sosoknya secara utuh. Tetapi, meski kita sudah melihat wujudnya, Danilla tetap membuat kita terhanyut untuk menerka-nerka dalam tanya, rahasia apa saja yang ada di balik parasnya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>