EP Fingers ibarat mengantarkan Danilla dari seorang perempuan dewasa menjadi wanita yang matang. Orkestrasi keresahan yang sederhana tapi mengena.
***
MASA bodoh. Kata itu kerap dipakai banyak orang sebagai ekspresi tidak peduli, acuh tak acuh, atau mungkin tak senang hati. Pun buat Danilla. Masa bodoh juga ia gunakan untuk mengekspresikan sikap cueknya. Dalam wawancara dengan sejumlah media, misalnya, Danilla menyatakan tak peduli dengan yang bakal dibilang orang tentang lagu-lagu bikinannya dalam EP Fingers yang rilis akhir September lalu. Ia bahkan menyebut EP itu sebagai proyek masa bodoh.
Ini kali kedua Danilla membawa-bawa masa bodoh setelah meluncurkan karya. Ketika saya wawancarai pada akhir Desember 2017, ia menyatakan masa bodoh dengan pendapat orang tentang lagu-lagunya dalam album Lintasan Waktu yang rilis September tahun itu. Sikap tersebut muncul sebagai respons atas kekhawatirannya terhadap nuansa Lintasan Waktu yang berbeda dengan album sebelumnya, Telisik (2014). Dalam Telisik, Danilla menghadirkan kesan ceria. Sementara Lintasan Waktu sebaliknya: muram. Dari segi bahasa, kata masa bodoh cenderung menghadirkan tone negatif. Tapi saya justru tidak merasakan tone itu dalam kemasabodohan Danilla. Saya malah menjumpai hal lain yang bernuansa positif, yakni kekuatan bermusik Danilla. Dalam Lintasan Waktu, misalnya, Danilla berhasil menyuguhkan lagu-lagu yang mengekspresikan kehidupannya dengan luar biasa, meski di antara album itu ia menyelipkan masa bodoh. Lintasan Waktu pun panen pujian. Tak sedikit yang mengakui kekuatan bermusik Danilla. Majalah Tempo, tempat saya pernah bekerja sebagai wartawan, bahkan memilih Lintasan Waktu sebagai album terbaik 2017.
Persekutuan masa bodoh dan kekuatan bermusik Danilla juga terlihat dalam EP Fingers. Yang paling menonjol adalah keberhasilan Danilla mengolah keresahannya menjadi kekuatan EP Fingers. Keresahan itu berbeda dengan yang ia tampilkan dalam Lintasan Waktu, yang terasa sangat personal–terutama mengenai pengalaman hidupnya. Di EP Fingers, Danilla menghadirkan keresahannya sebagai makhluk sosial. Melalui lima lagu dalam EP itu, Danilla mencoba membawa isu sosial, politik, dan kemanusiaan, kendati pada beberapa bagian ia tetap mempertahankan aroma personal, misalnya tentang percintaan. Dalam lagu Index, misalnya, Danilla menyinggung soal kekuasaan dan kekuatan. Saya kutip satu bagian dari liriknya: War for the loudest reason in the tube of union/Waking up for fighting and they’re hating/Strong people rules the sound of superpower papers/Dirty as it is, it makes your hands filthier. Lirik itu agaknya menggambarkan protes Danilla terhadap kekuasaan karena bisa membuat manusia saling bermusuhan. Lagu Ring, sebagai contoh lain, menampilkan pandangan Danilla tentang pernikahan. Di situ, Danilla seperti ingin menyatakan sikap: pernikahan itu sakral!
Keresahan Danilla dalam EP Fingers disuguhkan melalui aransemen musik yang sederhana lewat dominasi suara piano dan gitar elektrik. Ini berbeda dengan Lintasan Waktu yang musiknya lebih ramai, mulai dari suara petikan gitar elektrik, tabuhan drum, bunyi piano–terkadang violin, viola, dan selo, hingga bunyi instrumen musik elektronik synthesizer. Meski begitu, EP Fingers tak kalah kuat dari Lintasan Waktu. Ia tetap berhasil menghadirkan musik yang gloomy–persis seperti Lintasan Waktu, yang tentu terasa pas dengan lirik bernuansa muram dalam lagu-lagu Danilla. Karakter suara Danilla yang kuat membuat semuanya semakin harmonis.
Dalam keterangannya kepada sejumlah media, Danilla menyebut EP Fingers bakal menampilkan sesuatu yang berbeda. Buat saya, sesuatu yang berbeda itu terlihat dari dua sisi–setidaknya jika dibandingkan dengan Lintasan Waktu. Pertama, aransemen musik yang lebih sederhana seperti saya singgung di atas, meski nuansa gloomy-nya tak jauh berbeda dengan Lintasan Waktu. Kedua, warna musik. Lintasan Waktu kental dengan banyak warna seperti indie pop, jazz, bossa nova, dan balada. Sementara EP Fingers, buat saya, terasa sangat kental dengan warna indie pop, kendati karakter jazz-nya tetap masih melekat. Menurut saya, EP Fingers telah membawa Danilla naik kelas untuk kedua kalinya sebagai seorang musikus. EP itu menjadi medium transformasi bagi Danilla dalam bermusik. Danilla tak lagi “peduli” masalah pribadi seperti saat ia membuat Lintasan Waktu. Ia berubah dengan membuka diri untuk “memikirkan” masalah di sekitarnya. EP Fingers juga semakin memperlihatkan rasa percaya diri Danilla sebagai musikus karena hampir semua isi EP itu ia kerjakan sendiri, mulai dari menulis lagu, meramu musik, bernyanyi, hingga memproduserinya.
EP Fingers adalah tangga kedua buat Danilla. Tangga pertama sudah ia lalui lewat Lintasan Waktu. Di album itu, Danilla berhasil melawan ketakutan untuk menunjukkan potensi dan bakatnya dalam bermusik. Saya mengetahui ketakutan Danilla itu ketika mewawancarai Lafa Pratomo pada awal Januari 2018. Lafa adalah musikus yang boleh dibilang berperan besar dalam karier Danilla. Salah satu yang dilakukan Lafa adalah mendorong Danilla agar menjadikan keresahan sebagai kekuatan dalam berkarya. Keresahan itu "dimanfaatkan" Danilla ketika membuat Lintasan Waktu dan EP Fingers. Bedanya, keresahan dalam EP Fingers hadir dalam bentuk yang lebih matang. Akhirnya, EP Fingers–kalau boleh saya berandai-andai–ibarat mengantarkan Danilla dari seorang perempuan dewasa menjadi wanita yang matang. Transformasi itu tersaji tak sampai 15 menit melalui orkestrasi keresahan yang sederhana tapi mengena dalam lima lagu EP Fingers. Selamat dan sukses buat Danilla!
Saya bimbim dari bandung,saya mengucapkan MASA BODOH.
Selamat dan sukses buat Danilla
saya bimbim dari bandung,saya ingin mengucapkan “Danilla kamu lucu kek apa ya, tapi aku belum mencintaimu, ngatau klo besok maghrib.
Selamat dan sukses buat Danilla