Pramedya Nataprawira : Fingers Adalah Sisi Belakang Musik Danilla Riyadi

Setelah bertunas dalam transformasi musik mengejutkan di Lintasan Waktu pada 2017, penyanyi dan gitaris Danilla Riyadi kembali muncul dengan karya terbarunya dalam tajuk Fingers. Album pendek berisi lima nomor sederhana yang dibuat olehnya sendiri tanpa memiliki banyak campur tangan dari sang produser, gitaris, serta tandingan andalannya yaitu Lafa Pratomo. Sebuah situasi penciptaan karya yang belum pernah dilakukan Danilla sebelumnya sejak merilis album debut Telisik lima tahun silam.

Tentu terdapat perubahan yang mudah tertangkap, meski benang merah Lintasan Waktu terlahir dalam spektrum dream pop dan diakui sebagai jati diri musik Danilla sesungguhnya masih terasa. Di kelima lagu Fingers, elemen-elemen musiknya tak tercipta mewah maupun memiliki daya kejut. Danilla hanya menggabungkan petikan gitar repetitif serta dentingan piano seperlunya untuk menyampaikan isi lagu-lagu Fingers.

Album pendek ini terasa kian sederhana ketika Danilla mulai menunjukkan gaya suaranya yang tak pernah lepas dari cakupan vokal pop arus utama. Ini adalah ciri khas vokal dirinya yang sudah ada dan terus digunakan sejak album Telisik. Mungkin secara tidak sadar, Danilla sebagai penggemar garis keras Coldplay turut memengaruhi gaya lekuk vokalnya. Gaya miliknya ini memang menjadi formula menarik ketika digabungkan dengan musik Telisik maupun Lintasan Waktu. Sedangkan dalam Fingers, musik Danilla menjadi terdengar lugu seutuhnya.

Di bagian lirik, Fingers bercerita dengan cara bercakap yang menyisipkan sedikit bumbu metafora. Dua nomor pembuka, “Thumb” dan “Index”, menggambarkan situasi berkonflik dan upaya untuk memperbaikinya. “Don’t put our last goodbye in the jar. Two sides of us will always be broken,” begitu bunyi “Thumb”. Sedangkan dalam “Index”, “Strong people rules the sound of superpower papers. Dirty as it is, it makes your hands filthier.”

Lagu ketiga, “Middle”, memiliki lirik yang berkisah seakan tercebur di keadaan yang tidak diinginkan. “Shall we go back when we were blind? We weren’t that blind. We weren’t that blind to see the flowers inside.” Lagu “Ring” menunjukkan rasa pembuktian dengan bunyi lirik, “You see, these signs are going to help me sort the lines. You feel it, I won’t let go.” Sedangkan di lagu penutup, “Pinky”, terasa gamblang menceritakan tentang janji satu pasangan, “We were born in half, then we should stand here as one. So, is it matter now to talk about love?”.

Satu hal yang membuat Fingers berpotensi menjadi daya candu bagi para pendengarnya adalah metode perulangan dari nomor “Pinky” yang kembali ke “Thumb”. Ini adalah sebuah cara brilian dalam menawarkan pengalaman demi menikmati album ini. Rasanya sangat tepat guna karena lagu-lagu di dalamnya tidak melelahkan meski sekadar menumpang lewat di pendengaran. Dalam momen yang tepat, penggemar bisa mendengarkan Fingers berkali-kali tanpa disadari.

Secara keseluruhan, Fingers selayaknya karya B-side atau sisi belakang dari musik Danilla. Tidak membawa pretensi apa pun, hanya ia sebagai musisi yang ingin mengeluarkan karya dari dalam kepalanya. Sehingga Fingers bukan sebuah teropong masa depan yang tepat bagi para penggemar untuk mengetahui karya Danilla selanjutnya. Album pendek ini hanya sebuah gerakan menengok kecil di tengah perjalanan panjang karier bermusik Danilla. Bukan berdiri di lahan keistimewaan, namun tetap memiliki ceritanya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>